- KONSEP TEORI
Hemodialisa
a.
Pengertian
Menurut Price dan Wilson
(1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen
cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute
dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan
menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan
larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermeabel
(dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan
aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui
membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan
produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan
gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa
memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan
dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah,
darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar
tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu
hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula
arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).
b.
Indikasi
Price dan Wilson (1995)
menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin
darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal
mengambil keputusan berdasarkan
kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer
atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml
pada wanita dan glomeluro filtration rate
(GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
Menurut
konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua
pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari
10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan
LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani
dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu
apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian
Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika
bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar
kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang
terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga
dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga
menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis
berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi
khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat
diatasi.
a. Kontra Indikasi
Menurut
Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang
tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang
lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer
atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml
pada wanita dan glomeluro filtration rate
(GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
Menurut
konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua
pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari
10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan
LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani
dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu
apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian
Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika
bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar
kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang
terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga
dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga
menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis
berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi
khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat
diatasi.
a. Kontra Indikasi
Menurut
Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang
tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang
lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
a. Tujuan
Menurut
Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum,
kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal
sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang
menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu
program pengobatan yang lain.
b. Proses Hemodialisa
Suatu mesin
hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan
cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu
membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk
memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran
membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi
pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses
hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai
ginjal tiruan yang disebut dializer,
yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan
zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler
sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa
(NKF, 2006).
Suatu mesin
ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan
bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan
arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari
ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat
kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak
tabung kapiler (Price & Wilson, 1995). Menurut Corwin (2000)
hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke
dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel
(dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan
ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya
Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri
dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah
mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer
hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Cairan
dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan
dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum
keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi
terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan
hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam
kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan
negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah
pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup
untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada
jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap
bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur
vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan
pasien, maka hemodializer modern
dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price
& Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan
individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali
seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15
jam/minggu
dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa
memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut
berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses
hemodialisa.
Gambar 1.
Skema proses
hemodialisa
a. Komplikasi Hemodialisa
Menurut
Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens
dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi
yang terjadi, antara lain :
1) Kram
otot
Kram
otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai
mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.
2) Hipotensi
Terjadinya
hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat
natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
3) Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat
antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan
bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien
hemodialisa.
1) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom
ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi
pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
2) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal
penting yang perlu dimonitor pada pasien
yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
3) Perdarahan
Uremia
menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan
mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan
faktor risiko terjadinya perdarahan.
4) Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia.
Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
5) Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada
akses vaskuler.
6) Pembekuan darah bisa disebabkan karena
dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang
lambat.
No comments:
Post a Comment